Salah satu ibadah sunat yang paling baik dilakukan adalah puasa hari Arafah, yaitu puasa bagi orang-orang yang tidak berhaji pada saat berkumpulnya ahli haji di padang Arafah pada 9 Zulhijjah. Di Indonesia sendiri 9 Zulhijjah jatuh pada hari yang berbeda dengan waktu wukuf di Arafah. Bagaimana menyikapi fenomena ini?

Penentuan Awal Bulan Zulhijjah

Penentuan awal bulan Zulhijjah bisa berbeda di beberapa tempat yang ikhtilaf Matali, karena bisa saja hilal terlihat disatu tempat dan tidak terlihat di tempat lain. Sebagaimana lazimnya penentuan awal Ramadhan dan Syawal, penentuan awal bulan Hijriah setiap bulannya adalah dengan terlihat atau tidaknya hilal. Jika pada sore hari hingga malam tanggal 29 hilal tidak terlihat, maka pada bulan tersebut digenapkan 30 hari. Namun jika hilal terlihat, maka esok harinya adalah tanggal 1 dan bulan sebelumnya hanya 29 hari.

Tahun ini, hilal tidak terlihat di seluruh wilayah Indonesia sehingga pemerintah melalui Kementerian Agama menetapakn bulan Zulqadah digenapkan 30 hari dan 1 (satu) Zulhijjah jatuh pada hari Jumat. Berbeda dengan pemerintah Arab Saudi yang menetapkan awal Zulhijjah pada hari kamis karena Hilal terlihat di sebagian daerah. Wilayah Arab Saudi sendiri berbeda Mathali dengan Indonesia karena selisih waktu yang sampai 4 jam.


Hilal yang terlihat di Barat tidak melazimi kepada akan wujudnya di Timur tetapi jika Hilal terlihat di Timur maka melazimi kepada wujud di Barat, ini karena Hilal lebih dulu wujud di Timur dan baru kemudian ke Barat. Wilayah Indonesia sendiri ada di belahan Timur dibandingkan dengan Arab Suadi yang berada di bagian Barat Indonesia sehingga waktu Indonesia lebih cepat empat jam dari Arab Saudi. Jadi penentuan awal Zulhijjah Kembali kepada masing-masing daerah, demikian dalam mazhab Imam Syafii.

Bagaimana Hukum Puasa Arafah?

Arafah adalah penamaan kepada tempat dan juga penamaan kepada waktu 9 Zulhijjah, yang kedua ini adalah pendapat yang kuat. Hari Arafah sendiri bukanlah 9 Zulhijjah pada hakikat, tetapi hari dimana secara dhahir manusia meyakininya sebagai hari Arafah, baik itu 9 atau 10 Zulhijjah pada hakikatnya. Ini juga berlaku untuk Idul Fitri, yang bisa saja dirayakan bukan pada satu syawal secara hakikat, tetapi karena kaum muslimin telah berbuka puasa karena bualn Ramadhan telah genap 30 hari karena tidak Nampak Hilal. Namun, bisa saja hilal telah wujud malam ke 30, tetapi karena ada awan maka tidak terlihat sehingga mereka menggenapkan puasa menjadi 30 hari. Sebagaimana disebutkan dalam Nash Majmu’ Syarah Muhadzab juz 5 Hal 29 cet. Darul Fikri.


قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَيْسَ يَوْمُ الْفِطْرِ أَوَّلَ شَوَّالٍ مُطْلَقًا وَإِنَّمَا هُوَ الْيَوْمُ الَّذِي يُفْطِرُ فِيهِ النَّاسُ بِدَلِيلِ الْحَدِيثِ السَّابِقِ وَكَذَلِكَ يَوْمَ النَّحْرِ وَكَذَا يَوْمَ عَرَفَةَ هُوَ الْيَوْمُ الَّذِي يَظْهَرُ لِلنَّاسِ أَنَّهُ يَوْمَ عَرَفَةَ سَوَاءٌ كَانَ التَّاسِعَ أَوْ الْعَاشِرَ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ عَقِبَ هَذَا الْحَدِيثِ فَبِهَذَا نَأْخُذُ قَالَ وَإِنَّمَا كُلِّفَ الْعِبَادُ الظَّاهِرَ وَلَمْ يَظْهَرْ الْفِطْرُ إلَّا يَوْمَ أَفْطَرُوا


Para ulama menyebutkan bawah puasa Arafah disunatkan karena dua sebab, pertama karena pada hari tersebut orang yang berhaji sedang Wukuf di Arafah. Sebab yang kedua adalah karena memang pada awal bulan Zulhijjah kita disunatkan untuk berpuasa dari tanggal satu sampai 10, tetapi karena bertepatan dengan hari Aidil Adha, maka diharamkan puasa pada hari ke 10 dan dilanjutkan dengan 11, 12 dan 13 hari Tasyriq karena pada pada hari-hari tersebut diperintahkan untuk berkurban dan makan daging kurban. Jadi seandainya 9 Zulhijjah tidak bertepatan dengan wukufnya orang berhaji di Arafah, namun tetap disunatkan karena pada hari itu bertepatan dengan 9 Zulhijjah. Lalu umat Islam juga diperintahkan untuk berpuasa pada hari ke 8 Zulhijjah atau biasa disebut Tarwiyah, kesunahan ini juga karena dua alasan, pertama karena hari kedelapan tersebut ada kemungkinan sebagai hari Arafah pada hakikat. Alasan kedua adalah 8 Zulhijjah termasuk kepada 10 besar dari awal bulan Zulhijjah yang disunatkan untuk berpuasa. Dipahami dari sini bahwa pada hari 9 Zulhijjah belum tentu benar-benar hari Arafah pada hakikat, boleh jadi pada hari sebelumnya (8 Zulhijjah) sehingga kita disunatkan pula untuk berpuasa pada 8 Zulhijjah karena bisa jadi hari Arafah telah lewat satu hari.



Referensi:


Ibnu Hajar al-Haitami, Fatawa Al-Kubra al-Fiqhiyyah, Ibnu Hajar al-Haitami, jld. 2, hal. 57, cet. Maktabah al-Islamiyyah


إذا رأى الهلال بمكة المشرفة ولم ير بأرض بجيلة فما يكون الحكم في ذلك

فاعلم أن المطالع قد تختلف فيلزم من رؤيته في الشرقي رؤيته في الغربي ولا ينعكس، وذلك أن الليل يدخل في البلاد الشرقية قبل دخوله في البلاد الغربية وعلى ذلك حديث كريب فإن الشام غربية بالنسبة إلى المدينة فلا يلزم من رؤيته بالشام رؤيته بالمدينة كذا قال الإمام جمال الدين الإسنوي فعلى هذا قال القاضي برهان الدين إبراهيم بن ظهيرة قاضي مكة المشرفة في بعض أجوبته بجيلة شرقي مكة فيلزم من الرؤية ببجيلة الرؤية بمكة المشرفة ولا عكس اهـ  

Imam al-Nawawi, Al Majmu' Syarh al muhadzdzab , jld.5, hal.29, cet. Dar al- fikr)


بِدَليل الحَدِيثِ السَّابِقِ، وَكَذَلكَ يَوْمَ النَّحْرِ، وَكَذَا يَوْمَ عَرَفَةَ هُوَ اليَوْمُ الذِي يَظْهَرُ للنَّاسِ أَنَّهُ يَوْمَ عَرَفَةَ، سَوَاءٌ كَانَ التَّاسِعَ أَوْ العَاشِرَ


Imam al-Bujairimi, Hasyiah al-Bujairimy, jilid 2, Hal. 155, Cet. Beirut 

سُنَّ صَوْمُ) يَوْمِ (عَرَفَةَ) وهُوَ تاسِعُ ذِي الحِجَّةِ بِقَيْدٍ زِدْته بِقَوْلِي (لِغَيْرِ مُسافِرٍ وحاجٍّ)


Abu Bakar Syatha, Hasyiah I’anatuthalibin, jld. 2, hal. 266, cet. Haramain.

قوله: ويتأكد صوم الثمانية قبله) أي يوم عرفة، فعليه يكون الثامن مطلوبا من جهتين: جهة الاحتياط لعرفة، وجهة دخوله في العشر غير العيدكما أن صوم يوم عرفة مطلوب أيضا من جهتين: كونه من عشر ذي الحجة، وكونه يوم عرفة.


( Madzhab Hanafi) Ibnu ‘Abidin al-Hanafi, Hasyiah Ibnu ‘Abidin, jld. 2, hal. 393, cet. Dar al-Fikr


[تَنْبِيهٌ] يُفْهَمُ مِن كَلامِهِمْ فِي كِتابِ الحَجِّ أنَّ اخْتِلافَ المَطالِعِ فِيهِ مُعْتَبَرٌ فَلا يَلْزَمُهُمْ شَيْءٌ لَوْ ظَهَرَ أنَّهُ رُئِيَ


(Madzhab Maliki) Al Imam Kharsyi al Maliki, Syarh Mukhtashar Al-Khalil, jilid 2, Hal. 234


قَوْلُهُ: وَعَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ) هَذِهِ الْمَوَاسِمُ الْمُشَارُ بِقَوْلِهِ وَغَيْرِهِ مِنْ الْمَوَاسِمِ، وَعَاشُورَاءُ وَنِصْفُ شَعْبَانَ مَوْسِمٌ مِنْ حَيْثُ الصَّوْمُ وَغَيْرُهُ مِمَّا يُطْلَبُ فِيهِ، وَالْمَوَاسِمُ جَمْعُ مَوْسِمٍ الزَّمَنُ الْمُتَعَلِّقُ بِهِ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ وَلَمْ يُرِدْ بِعَرَفَةَ مَوْضِعَ الْوُقُوفِ بَلْ أَرَادَ بِهِ زَمَنَهُ وَهُوَ الْيَوْمُ التَّاسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ