Motivasi Hijrah Muslim Terdapat peringatan dalam agama kita yang melarang seseorang membuat suatu candaan dengan menceritakan suatu hal yang isinya dusta atau berbohong, dengan maksud membuat manusia tertawa. Peringatannya cukup keras.

Rasulullah saw bersabda,

ﻭَﻳْﻞٌ ﻟِﻠَّﺬِﻯ ﻳُﺤَﺪِّﺙُ ﻓَﻴَﻜْﺬِﺏُ ﻟِﻴُﻀْﺤِﻚَ ﺑِﻪِ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡَ ﻭَﻳْﻞٌ ﻟَﻪُ ﻭَﻳْﻞٌ ﻟَﻪُ

“Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia .”[1]

Dalam Islam, dusta tidak diperbolehkan baik dalam hal serius maupun bercanda. Ibnu Mas'ud berkata. 

ﺇﻥ ﺍﻟﻜﺬﺏ ﻻ ﻳﺼﻠﺢ ﻓﻲ ﺟﺪ ﻭﻻ ﻫﺰﻝ

“Sesungguhnya berdusta tidak boleh baik dalam keadaan serius maupun bercanda”[2]

Bahkan hukumannya lebih berat jika sampai menimbulkan permusuhan dan persengketaan di antara manusia apalagi menimbulkan bahaya bagi agama.

ﻭﺃﻣﺎ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﻋﺪﻭﺍﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﺴﻠﻢ ﻭﺿﺮﺭ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ؛ ﻓﻬﻮ ﺃﺷﺪ ﺗﺤﺮﻳﻤﺎ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ . ﻭﺑﻜﻞ ﺣﺎﻝ : ﻓﻔﺎﻋﻞ ﺫﻟﻚ ﻣﺴﺘﺤﻖ ﻟﻠﻌﻘﻮﺑﺔ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﺮﺩﻋﻪ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ

“Apabila hal itu (dusta) menimbulkan permusuhan di antara kaum muslimin dan menimbulkan mudharat bagi agama, maka ini lebih terlarang lagi. Pelakunya harus mendapatkan hukuman syar’i yang bisa membuatnya jera.”[3]

Ini menjadi peringatan bagi para komedian dan para pelawak agar hendaknya berhati-hati dan kita doakan kebaikan kepada mereka agar meninggalkan hal ini. Terlebih lagi terlalu banyak tertawa bisa mematikan hati dan mengeraskan hati. Karena kebahagiaan sejati bukan dengan terlalu sering tertawa bahkan berlebihan sampai tertawa terbahak-bahak.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﻻَ ﺗُﻜْﺜِﺮُ ﺍﻟﻀَّﺤَﻚَ ﻓَﺈِﻥَّ ﻛَﺜْﺮَﺓَ ﺍﻟﻀَّﺤَﻚِ ﺗُﻤِﻴْﺖُ ﺍﻟﻘَﻠْﺐَ

“Janganlah terlalu banyak tertawa karena banyak tertawa bisa mematikan hati.”[4]

Larangan menjadikan agama sebagai bahan candaan, lawakan dan olok-olok

Hal ini sangat keras peringatannya. Allah berfirman,

ﻭَﻟَﺌِﻦ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢْ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟُﻦَّ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺨُﻮﺽُ ﻭَﻧَﻠْﻌَﺐُ ۚ ﻗُﻞْ ﺃَﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺋُﻮﻥَ ﻟَﺎ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُﻭﺍ ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya BERSENDA GURAU dan BERMAIN-MAIN saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu BEROLOK-OLOK?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman… [At Taubah : 65-66]

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa hukumnya sangat berat yaitu bisa keluar dari agama Islam. Beliau berkata,

‏ فإن الاستهزاء باللّه وآياته ورسوله كفر مخرج عن الدين لأن أصل الدين مبني على تعظيم اللّه، وتعظيم دينه ورسله

“Mengolok-olok dalam agama, ayat Al-Quran dan Rasul-Nya termasuk kekafiran yang bisa mengeluarkam dari Islam, karena agama ini dibangun di atas pengagungan kepada Allah, agama dan Rasul-Nya.”[5]

Karena memang agama ini adalah suatu yang mulia dan sangat tidak layak jika digunakan untuk jadi bahan candaan. Ingatkah kita ada aturan di bandara, “Bagi yang bercanda membawa bom di bandara, mereka bisa terkena pasal hukuman pidana”. Jika urusan dunia seperti ini saja tidak boleh, maka tentu urusan agama lebih tidak boleh lagi.

Perlu diperhatikan juga bahwa menjadikan agama sebagai candaan atau mem-plesetkan istilah-istilah agama adalah kebiasaan orang Yahudi, sebagaimana Allah berfirman,

ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﻻَ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﺭَﺍﻋِﻨَﺎ ﻭَﻗُﻮﻟُﻮﺍ ﺍﻧﻈُﺮْﻧَﺎ ﻭَﺍﺳْﻤَﻌُﻮﺍ ﻭَﻟِﻠْﻜَﺎﻓِﺮِﻳﻦَ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺃَﻟِﻴﻢٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. [Al-Baqarah/2:104].

Raa’ina berarti “Sudilah engkau memperhatikan kami”. Yaitu kebiasaan para sahabat ketika berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yahudi mem-plesetkan menjadi “Ru’unah” yang artinya sangat dungu atau sangat tolol. Allah memerintahkan sahabat menggantinya dengan perkataan “undzurna” yang maknanya sama.

Semoga bermanfaat dan semoga kita dijauhkan dari hal seperti ini.


Catatan kaki:

[1] HR. Abu Daud no. 4990 dan Tirmidzi no. 3315

[2] Majmu’ Fatawa 32/255-256

[3] Idem

[4] Shahih Al Jami’ no. 7435

[5] Lihat Tafsir As-Sa’diy


Penulis: dr. Raehanul Bahraen